Humas-Poltekesos, Bandung – Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi identik dengan proses menciptakan berbagai karya akademik seperti buku, hasil penelitian, dan jurnal; yang menjadi ciri, potensi dan keunggulan suatu perguruan tinggi, termasuk Poltekesos Bandung sebagai penyelenggara pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia. Karya yang dihasilkan oleh dosen atau pun mahasiswa, merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang tentunya perlu mendapatkan apresiasi dan harus dilindungi haknya.
Sejak lama dosen Poltekesos Bandung telah banyak menghasilkan produk-produk berupa buku, hasil penelitian, modul dan model praktik sebagai implementasi penerapan teknologi pekerjaan sosial. Namun sayangnya, sampai saat ini produk-produk tersebut belum memperoleh hak kekayaan intelektual (HAKI).
Untuk meningkatkan pemahaman sivitas tentang kekayaan intelektual dan paten, Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Poltekesos Bandung menyelenggarakan webinar yang diikuti oleh seluruh dosen di lingkungan Poltekesos Bandung (Senin, 26/07/21). Handy Nugraha didapuk sebagai narasumber, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Kerjasama Antar Lembaga Non Pemerintah dan Monitoring Konsultan Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI.
Dalam paparannya, Handy menjelaskan bahwa kekayaan intelektual sebagai hasil kreasi dari pikiran terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri (meliputi paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan perlindungan varietas tanaman). Kekayaan intelektual ini perlu dilindungi karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, menciptakan nilai/value serta mendorong tumbuhnya riset dan pengembangan, serta memberikan kepastian hukum dan kepastian dalam berusaha bagi penciptanya. “Kekayaan intelektual tanpa nilai ekonomi hanya akan menjadi hak sosial”, ungkap Handy.
Menjawab pertanyaan terkait kekayaan intelektual yang telah dihasilkan oleh dosen Poltekesos Bandung dalam lingkup pengembangan ilmu dan profesi pekerjaan sosial, Handy menyampaikan bahwa ranah atau bidang sosial tidak bisa dipatenkan, namun karya-karya yang telah dihasilkan oleh dosen seperti hasil penelitian atau model layanan sosial bisa memperoleh hak cipta yang dibuat dalam bentuk buku yang kemudian didaftarkan dan mendapatkan sertifikat.
Lebih lanjut Handy mengungkapkan bahwa ada hal yang sangat mendasar yang membedakan ruang lingkup hak cipta dan hak paten. “Hak cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif dan menganut sistem first to publish atas karya di bidang seni, sastra/literature, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hak paten menganut sistem first to file, menghasilkan sebuah produk teknologi yang memiliki fitur pemecahan masalah serta dapat diuji kelayakan dan manfaatnya” pungkasnya.
Untuk memudahkan proses pendaftaran kekayaan intelektual, pendaftar baik pribadi atau lembaga disarankan untuk mengenali jenis kekayaan intelektual yang dimiliki dan melakukan penelusuran sebelum didaftarkan. Pendaftar juga harus menentukan strategi pendaftaran yang paling menguntungkan, memanfaatkan teknologi informasi yang tersedia dan berkonsultasi dengan ahlinya. Jika diperlukan, Dirjen Kekayaan Inteletual Kementerian Hukum dan HAM RI juga membuka kesempatan untuk melakukan kerja sama dengan instansi terkait penetapan HAKI.
Seperti disampaikan oleh Kepala PPM, Yuti Sri Ismudiyati, webinar ini penting dilaksanakan, selain memperkuat pemahaman tentang HAKI, sekaligus untuk menjawab tantangan pemenuhan target luaran Renstra Poltekesos Bandung dalam menghasilkan jurnal ilmiah khususnya dari hasil kegiatan PPM dan mendongkrak akreditasi kampus. Harapannya, pada tahun ini sudah ada hasil karya dosen Poltekesos yang mendapatkan HAKI, sehingga bisa memberikan manfaat bagi penciptanya, institusi/lembaga dan profesi pekerjaan sosial di Indonesia.***dee
BERITA TERBARU
POPULAR TAGS
Silahkan isi dengan lengkap data di bawah ini.