HumasPoltekesosBDG_Pekerjaan sosial pendidikan berperan penting dalam mengatasi kesenjangan pendidikan yang disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi. Dalam konteks Sekolah Rakyat, masalah utama yang dihadapi adalah rendahnya akses terhadap pendidikan berkualitas bagi anak-anak dari keluarga miskin, yang menyebabkan berulangnya siklus kemiskinan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Program ini sejalan dengan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Pendidikan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara bagi seluruh warganya, termasuk mereka yang berada dalam kondisi ekonomi lemah.
Data menunjukkan bahwa 64,46% anak dari orang tua miskin tetap berada dalam kategori miskin di masa depan. Kondisi ini sejalan dengan teori educational deprivation, di mana keterbatasan akses pendidikan yang layak memperburuk ketimpangan sosial. Arahan Presiden pada 3 Januari 2025
- 3 Februari 2025 - 3 dan 4 Maret 2025 menegaskan pentingnya membuka akses seluas-luasnya bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini relevan dengan pemikiran Martha Nussbaum (2000) dalam Women and Human Development: The Capabilities Approach menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya tentang keterbatasan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan dasar individu dalam menjalani kehidupan yang bermartabat, termasuk akses terhadap pendidikan. Jika anak-anak dari keluarga miskin tidak mendapatkan pendidikan yang layak, kemungkinan besar mereka akan tetap berada dalam lingkaran kemiskinan seperti orang tua mereka.
Tingginya angka putus sekolah menjadi tantangan krusial dalam upaya memutus rantai kemiskinan. Data dari Susenas (2023) menunjukkan bahwa 33,21% siswa SMA sederajat mengalami putus sekolah, sementara 730.703 siswa SMP lulus tetapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya (Kemendikbud, 2025). Faktor ekonomi menjadi penyebab utama, di mana 76% keluarga menyatakan bahwa alasan utama anak mereka putus sekolah adalah ketidakmampuan finansial (Susenas, 2021). Dalam perspektif Pierre Bourdieu (1986), pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh ekonomi, tetapi
juga oleh habitus dan lingkungan sosial yang membentuk pola pikir tentang pentingnya sekolah. Jika keluarga miskin tidak melihat pendidikan sebagai prioritas akibat tekanan ekonomi, maka anak-anak mereka lebih rentan terhadap putus sekolah, memperkuat siklus kemiskinan. Untuk itu, Sekolah
Rakyat akan diperuntukkan bagi jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA, memberikan kesempatan bagi anak-anak dari kelompok miskin untuk melanjutkan pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di kelompok miskin semakin memperparah kondisi sosial- ekonomi mereka. Data dari BPS (2024) mencatat bahwa 74,51% kepala rumah tangga miskin ekstrem hanya memiliki pendidikan SD ke bawah. Hal ini berarti mereka memiliki keterbatasan
dalam mengakses pekerjaan yang lebih baik, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya pendapatan dan ketidakmampuan untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka. Dalam pendekatan social investment yang dikemukakan oleh James Midgley (1995), investasi
dalam pendidikan menjadi elemen krusial untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin. Oleh karena itu, dengan target pembangunan 100 Sekolah Rakyat pada tahun 2025/2026, program ini bertujuan memberikan intervensi pendidikan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dan mobilitas sosial.
Konsep Sekolah Rakyat juga mencerminkan kebijakan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa masyarakat miskin memiliki akses terhadap pendidikan sebagai alat
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Penanganan fakir miskin harus dilakukan melalui berbagai upaya, termasuk pengembangan potensi diri dan layanan sosial lainnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Oleh karena itu, Sekolah
Rakyat tidak hanya berperan sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pengembangan sosial yang memberikan berbagai layanan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Sebagai strategi pengentasan kemiskinan berbasis pendidikan, Sekolah Rakyat menawarkan intervensi yang sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial pendidikan. Program ini dirancang untuk membuka akses pendidikan bagi kelompok rentan yang sebelumnya memiliki keterbatasan dalam mendapatkan pendidikan formal. Dengan model sekolah berasrama, anak-anak dari keluarga miskin diberikan lingkungan yang lebih stabil, aman, dan kondusif untuk belajar, terlepas dari tekanan ekonomi yang mereka hadapi di rumah. Konsep ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menekankan bahwa pendidikan harus berperan dalam membebaskan individu dari keterbatasan sosial yang menghalangi mereka untuk berkembang.
Sekolah Rakyat dirancang agar memiliki pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang berkualitas, memastikan bahwa faktor-faktor non-akademik seperti kesehatan dan kondisi sosial ekonomi tidak lagi menjadi hambatan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Pendekatan multidisiplin yang diterapkan
dalam Sekolah Rakyat mencerminkan Teori Ekologi Manusia Bronislaw Malinowski (1944) menjelaskan bahwa manusia berkembang dalam sistem ekologi yang kompleks, di mana aspek ekonomi, sosial, dan budaya saling berinteraksi untuk membentuk pola kehidupan. Pendidikan
dipandang sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih luas, dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, ekonomi keluarga, dan norma budaya. Oleh karena itu, selain memberikan pendidikan formal yang berkualitas, program ini juga menyediakan fasilitas pendukung seperti klinik kesehatan,
perpustakaan, laboratorium, serta ruang ibadah. Dengan adanya layanan kesehatan dan kesejahteraan sosial dalam sekolah, hambatan non-akademik seperti kesehatan yang buruk atau tekanan ekonomi dapat diminimalisir, memungkinkan siswa untuk fokus pada pendidikan mereka.
Keberlanjutan program ini menjadi salah satu tantangan yang perlu diperhatikan. Target pembangunan 100 Sekolah Rakyat tidak hanya membutuhkan kesiapan infrastruktur, tetapi juga pendanaan yang konsisten dari pemerintah dan sektor swasta. Setiap sekolah diharapkan mampu menampung 1.000 siswa dan berdiri di atas lahan 5-10 hektar, sehingga dapat menampung lebih banyak anak dari keluarga miskin. Paul Collier (2007) dalam The Bottom Billion menegaskan bahwa banyak program sosial gagal bukan karena desain kebijakannya buruk, tetapi karena implementasinya tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme monitoring dan evaluasi untuk memastikan bahwa lulusan Sekolah Rakyat benar-benar mendapatkan mobilitas sosial yang lebih baik dan tidak kembali ke lingkungan kemiskinan setelah lulus.
Dukungan komunitas dan sektor swasta juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan program ini. Dengan keterlibatan masyarakat, alumni, serta dunia usaha dan industri, program ini dapat memperluas akses terhadap beasiswa, pelatihan kerja, dan pendampingan bagi siswa setelah
lulus. John Dewey (1916) dalam teorinya tentang pendidikan progresif menekankan bahwa sekolah harus menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas dan berfungsi sebagai pusat pengembangan sosial. Oleh karena itu, Sekolah Rakyat tidak hanya harus fokus pada pendidikan di dalam kelas, tetapi
juga membangun jejaring dengan berbagai institusi untuk mendukung keberlanjutan pendidikan dan pekerjaan bagi lulusannya.Evaluasi jangka panjang terhadap dampak program ini juga perlu dilakukan melalui penelitian longitudinal untuk menilai sejauh mana lulusan Sekolah Rakyat benar-benar
mampu meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri dan keluarga mereka. Keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari jumlah siswa yang diterima di perguruan tinggi, tetapi juga dari bagaimana mereka dapat mengembangkan keterampilan kerja dan kehidupan yang memungkinkan mereka
untuk keluar dari kemiskinan.
Dari perspektif pekerjaan sosial pendidikan, Sekolah Rakyat merupakan intervensi yang sangat relevan dalam mengatasi transmisi kemiskinan antar generasi melalui pendidikan berkualitas. Program ini tidak hanya memberikan akses pendidikan, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan individu secara menyeluruh. Namun, agar program ini benar-benar efektif dalam jangka panjang, diperlukan keberlanjutan penganggaran, pendampingan psikososial bagi siswa, serta kemitraan dengan sektor industri dan perguruan tinggi. Dengan pendekatan yang komprehensif, Sekolah Rakyat dapat menjadi model transformasi sosial yang tidak hanya mengubah nasib individu, tetapi juga mendorong perubahan struktural yang lebih luas dalam sistem pendidikan dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Jika berhasil, program ini akan menjadi solusi nyata bagi jutaan
anak-anak dari keluarga miskin untuk memperoleh masa depan yang lebih cerah. Namun, tanpa strategi yang jelas dan dukungan yang kuat, program ini bisa saja menjadi proyek jangka pendek yang tidak mampu menghasilkan dampak sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itu, keberlanjutan
pendanaan, sinergi dengan kebijakan sosial lainnya, serta monitoring dan evaluasi yang ketat menjadi faktor utama dalam memastikan keberhasilan program ini dalam jangka panjang.
BERITA TERBARU
POPULAR TAGS
Silahkan isi dengan lengkap data di bawah ini.